Pendidikan nasional, sebagai salah
satu sistem dari supra sistem pembangunan nasional, memiliki tiga subsistem
pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003
yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.
Pendidikan formal disebut juga pendidikan sekolah sedangkan pendidikan
nonformal dan informal tercakup ke dalam pendidikan luar
sekolah.
Menurut pengertian Undang-undang
Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 12 “Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang sedangkan ayat 13 menyatakan “Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan .
Coombs (Trisnamansyah, 2003: 19)
mendefinisikan nonformal education sebagai setiap kegiatan pendidikan yang
diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan baik dilakukan secara
terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih besar, dilakukan
secara sengaja untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan
belajarnya.
Sudjana (2001: 63) pendidikan luar
sekolah telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang
berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini dimana situasi pendidikan ini
muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam
kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum
pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. Pada waktu permulaan
kehadirannya, pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan informal,
yaitu kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga dimana terjadi
interaksi di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai,
dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya
perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.
Dalam perkembangan selanjutnya,
kelompok-kelompok yang terdiri dari keluarga-keluarga mengadopsi pola transmisi
tersebut ke dalam kehidupan kelompok seperti keterampilan bercocok tanam.
Kegiatan belajar-membelajarkan tersebut yang dilakukan untuk melestarikan dan
mewariskan kebudayaan secara turun temurun itulah yang termasuk ke dalam
kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi akar pertumbuhan
pendidikan luar sekolah.
Sejak awal kehadirannya di dunia
ini, pendidikan luar sekolah telah berakar pada tradisi dan adat istiadat yang
dianut oleh masyarakat yang mendorong penduduk untuk belajar, berusaha, dan
bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan moral yang dianut oleh masyarakat
tersebut. Hal ini biasanya terdapat dalam pepatah dan nasehat para orang tua
yang intinya mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan belajar, berusaha,
dan bekerjasama dalam masyarakat.
Asas Pendidikan Sepanjang Hidup
Pendidikan luar sekolah didasari
oleh empat asas yaitu asas kebutuhan, asas pendidikan sepanjang hayat, asas
relevansi dengan pembangunan masyarakat, dan asas wawasan ke masa depan. Dalam
hal ini perhatian lebih ditujukan pada asas pendidikan sepanjang hayat yang
relevan dengan topik yang sedang dibahas. Hawes, (Trisnamansyah, 2003: 7)
mengemukakan dua puluh karakteristik pendidikan sepanjang hayat, antara lain:
1. Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terbatas
pada pendidikan orang dewasa tapi juga meliputi serta menyatukan semua tingkat
pendidikan prasekolah, SD, SLTP dan seterusnya. Ini merupakan pandangan
pendidikan secara menyeluruh.
Berdasarkan karakteristik di atas
maka pendidikan prasekolah telah diakui sebagai bagian dari pendidikan
sepanjang hayat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Worth, W.H. (Cropley,
1999: 43) yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh menolak anak di bawah
umur enam tahun dan menganjurkan pendidikan anak-anak awal yang disebutnya
“Early Ed. Tiga tujuan pokok “Early Ed , yang meliputi perlengkapan stimulasi,
membantu pemahaman identitas, dan menciptakan pengalaman sosialisasi yang
tepat. Aspek terpenting anjuran Worth ialah pendidikan anak usia dini sebagai
fase pertama sistem pendidikan seumur hidup. Ia menyarankan bahwa tujuannya
harus memuat pengembangan keterampilan untuk mendayagunakan informasi dan
simbol-simbol, meningkatkan apresiasi bermacam-macam mode ekspresi diri,
memelihara keinginan dan kemampuan berpikir, menanamkan keyakinan setiap anak tentang
kemampuannya untuk belajar, membantu perasaan harga diri, dan akhirnya,
meningkatkan kemampuan untuk hidup dengan orang lain. Worth melihat pendidikan
anak usia dini meliputi variable yang kompleks dalam bidang kognitif, motivasi
dan sosio affektif yang jika berkembang dengan tepat akan menjadi basis pemenuhan
diri dalam kehidupan. Dengan demikian Worth mengakui pentingnya pendidikan
anak-anak usia prasekolah sebagai salah satu fase pendidikan seumur hidup.
2. Rumah memegang peranan pertama, tajam dan penting
dalam memulai proses belajar sepanjang hayat yang terus berlanjut sepanjang
kehidupan individu melalui proses belajar keluarga. Dalam keluargalah anak
pertama kali mendapatkan pengalaman belajarnya dimana diketahui bersama bahwa
keluarga merupakan tempat belajar di luar sekolah. Di dalam kehidupan keluarga
ini terjadi interaksi, di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan,
sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk
tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini (Sudjana, 2001: 63).
3. Pendidikan Luar Sekolah Dalam Optimalisasi Tumbuh
Kembang Anak
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Oleh karena itu sudah sewajarnya bila peran Pendidikan
Luar Sekolah yang mencakup pendidikan nonformal dan informal dalam
memberikan pelayanan pendidikan dini kepada anak-anak yang tak memperoleh
pendidikan di jalur pendidikan formal.
Pendidikan Anak Usia Dini
Anak usia dini sebagaimana yang
termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14 menyatakan
bahwa: “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut . Batasan lain mengenai usia dini pada anak berdasarkan psikologi
perkembangan yaitu antara usia 0 8 tahun.
Di samping istilah pendidikan anak
usia dini terdapat pula terminologi pengembangan anak usia dini yaitu upaya
yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah untuk membantu anak usia
dini dalam mengembangkan potensinya secara holistik baik aspek pendidikan, gizi
maupun kesehatan (Direktorat PADU, 2002:3).
Pertumbuhan sering dikaitkan dengan
kata perkembangan sehingga ada istilah tumbuh kembang. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan bagian dari perkembangan. Namun
sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah dua hal yang berbeda.
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh,
misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, bertambah lingkaran
kepala, bertambah lingkar lengan, tumbuh gigi susu, dan perubahan tubuh yang
lainnya yang biasa disebut pertumbuhan fisik. Pertumbuhan dapat dengan mudah
diamati melalui penimbangan berat badan atau pengukuran tinggi badan anak.
Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara terus menerus dan teratur.
Adapun perkembangan adalah perubahan
mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan
yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap,
tingkah laku, dan sebagainya. Proses perubahan mental ini juga melalui tahap
pematangan terlebih dahulu. Bila saat kematangan belum tiba maka anak sebaiknya
tidak dipaksa untuk meningkat ke tahap berikutnya misalnya kemampuan duduk atau
berdiri.
Pertumbuhan dan perkembangan
masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat, tergantung
faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara perawatan kesehatan), dan
konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan). Oleh sebab itu perlakuan
terhadap anak tidak dapat disamaratakan, sebaiknya dengan mempertimbangkan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak (Diktentis Diklusepa, 2003:8).
Pada saat anak dilahirkan ia sudah
dibekali tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai
kematangannya pada saat setelah di luar kandungan. Bayi yang baru dilahirkan
memiliki 100 miliar neuron dan bertriliun-triliun sambungan antar neuron.
Melalui persaingan alami akhirnya sambungan-sambungan yang tidak atau jarang
digunakan akan mengalami atrofi. Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron
mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan
tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat
perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak
dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak synapse yang berarti
lebih banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan
otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron
yang membentuk unit-unit. Otak manusia bersifat hologram yang dapat mencatat,
menyerap, menyimpan, mereproduksi dan merekonstruksi informasi.
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh
kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan
frekuensi stimulasi yang diterima indra. Stimulasi pada tahun-tahun pertama
kehidupan anak sangat mempengaruhi struktur fisik otak anak, dan hal tersebut
sulit diperbaiki pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah
bahwa anak yang tidak mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh
atau jarang diajak bermain akan mengalami berbagai penyimpangan perilaku.
Penyimpangan tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada
rendah diri, sangat penakut, dan tidak mandiri, atau sebaliknya menjadi anak
yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif.
Stimulasi psikososial untuk
merangsang pertumbuhan anak tidak akan memberikan arti bagi masa depan anak
jika derajat kesehatan dan gizi anak tidak menguntungkan. Pertumbuhan otak anak
ditentukan oleh bagaimana cara pengasuhan dan pemberian makan serta stimulasi
anak pada usia dini yang sering disebut critical period ini. Gizi yang tidak
seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan anak yang rendah akan
menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak
dalam mencatat, menyerap, mereproduksi dan merekonstruksi informasi. Di samping
itu, rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan menghambat pertumbuhan
fisik dan motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat pada tahun-tahun
pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi pada pertumbuhan fisik dan
motorik anak, sulit diperbaiki pada periode berikutnya, bahkan dapat mengakibatkan
cacat yang permanen (Dirjen Diklusepa, Depdiknas: 2002).
Konsep di atas menuntut adanya
pengintegrasian aspek psiko-sosial/pendidikan, gizi dan kesehatan dalam proses
tumbuh kembang anak atau dengan kata lain anak mendapatkan layanan dasar secara
holistik.
Dalam perkembangan anak, pada
saat-saat tertentu dapat terjadi kemandegan tugas-tugas perkembangan
(discontinuity), misalnya karena sakit, namun setelah masa ini berlalu ada
tugas perkembangan yang bisa dikejar dan ada pula yang tidak bisa dikejar sama
sekali.
Peranan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan data sensus penduduk
tahun 2000 menunjukkan bahwa dari jumlah 26,09 juta anak usia 0-6 tahun,
sebagian besar (sekitar 17, 99 juta anak atau 68,9%) belum terlayani dalam
pendidikan prasekolah. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal hanya mampu
melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta anak usia 4-6 tahun yang ada.
Berkenaan dengan hal tersebut di
atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah yang mencakup
pendidikan nonformal dan informal dalam memberikan pelayanan pendidikan dini
pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal
sangatlah penting dan mendesak. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang
diselenggarakan pendidikan luar sekolah berupa kelompok bermain, taman
penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis.
Kelompok bermain adalah salah satu
bentuk layanan PAUD bagi anak usia tiga enam tahun, yang berfungsi untuk
meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
yang diperlukan bagi anak usia dini dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya, sehingga
siap memasuki pendidikan dasar.
Taman Penitipan Anak adalah wahana
pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti
keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orangtuanya berhalangan atau tidak
memiliki waktu yang cukup dalam menagsuh anaknya karena bekerja atau sebab
lain.
Satuan PAUD sejenis merupakan
bentuk-bentuk layanan PAUD lainnya yang tidak diselenggarakan dalam bentuk taman penitipan
anak ataupun kelompok bermain. Satuan PAUD
sejenis dapat berbentuk: PAUD dalam keluarga dan berbagai layanan pendidikan
lainnya, baik yang bersifat khusus maupun umum yang diselenggarakan bagi anak
usia dini.
PAUD Terintegrasi Posyandu atau
Pospadu adalah pengembangan dari satuan PAUD sejenis, yang merupakan upaya
pendidikan bagi anak usia dini yang dilaksanakan dengan mengintegrasikan
pendidikan dengan program posyandu, sehingga anak memperoleh layanan dasar
secara holistik/menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, dan
pendidikan.
Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan bahwa masih banyak anak
usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan tak dapat dipungkiri,
terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan sebagian besar penduduk
Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah.
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas anak, nampaknya jauh lebih baik
daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hasil penelitian Meneg
Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti
yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002: 13) menyebutkan
bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan diberikan kepada
anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman masyarakat
terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya mereka
berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak usia
dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih jauh Hadis (2002: 25)
mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab masih rendahnya
kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini seperti:
ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orangtua tentang
perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah, masih
sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang masih
sangat mendasar (untuk survival), serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya
setempat yang sempit.
Rendahnya tingkat partisipasi anak
mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi oleh beberapa hal
lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD
yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK,
KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2) Rendahnya
dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Fakta
menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 41.092
buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah hanya mendirikan
225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang dengan jumlah anak yang
seharusnya mengikuti pendidikan dini.
Memang berhasilnya PAUD merupakan
tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat terutama keluarga yang merupakan
penanggungjawab utama dalam optimalisasi tumbuh kembang anak. Peran pemerintah
adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang
anak.
Upaya pemerintah untuk memfasilitasi
masyarakat antara lain melalui standarisasi kurikulum guna membantu masyarakat
mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar tidak merugikan peserta didik maupun
masyarakat, peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga
kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak, serta
pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup pengembangan metodologi
pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar termasuk bacaan anak,
pengembangan permainan dan alat permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh
kembang anak.
Dalam rangka memberikan perhatian
secara khusus terhadap anak usia dini yang tidak terlayani pada lembaga formal
(TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di lingkungan Depdiknas. Kehadiran
direktorat ini terutama untuk memberikan layanan, bimbingan dan atau bantuan
teknis edukatif yang tepat terhadap semua layanan anak usia dini (di luar TK
dan RA) yang ada di masyarakat.
Masyarakat itu sendiri juga perlu
meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam pelaksanaan, pembinaan, dan
pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah perlu memberdayakan peranserta
masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan masyarakat,
dengan cara mengembangkan segala potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki
kemampuan sendiri dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam
kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sangat
diperlukan. Perlu pula diingat bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan
sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program yang ada di masyarakat.
Sinergi berbagai unsur yang
berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan upaya
pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan kemitraan. Jaringan
kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan program
pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih program termasuk pembinaannya,
merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan
termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Di samping itu adanya
jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat, mulai
dari pusat sampai grass-root, merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu
program di masyarakat.
Program yang mempunyai jaringan
kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya komitmen semua unsur yang
terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang ada.
Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan
suatu program yang pada gilirannya mengarah pada pelembagaan program di
masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada
penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan
kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu program.
Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua
merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar
utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan
berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah
untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi
tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan
memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak
(Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah
lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada
anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih,
bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan
semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang benar bahwa faktor bawaan
juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga
merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan
sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya
oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi
menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain
hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan
(sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau
siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat
dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan
keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis).
Menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat
anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang
sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan
kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.
.peranan
pendidikan.peran pendidikan.pengertian pendidikan non formal.pelibatan
masyarakat dalam proses belajar di paud.pengertian pendidikan nonformal.fungsi
pendidikan formal.peranan pendidikan keluarga.Undang undang pendidikan non
formal.peran keluarga dalam mendidik anak usia dini.isi undang-undang tahun
2003 tentang konsep pendidikan seumur hidup.
Sumber : http://www.imadiklus.com/2011/11/peranan-pendidikan-non-formal-dalam-pendidikan-anak-usia-dini.html